essai

PANDANGAN MODERNIS TERKAIT TRADISI KITAB KUNING

Pada masa kini Pesantren sendiri memiliki dua tipe Pendidikan yaitu pesantren klasik (salaf) dan pesantren modern, kitab kuning sendiri ialah kitab yang biasa dikaji di pondok pesantren salaf dimana seorang guru biasanya membacakan arti (makna) nya lalu kemudian murid/santri menulisnya dengan bahasa arab-pego (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf arab).

Menurut Martin Van Bruinessen, kitab kuning ada di Indonesia sejak abad ke-16. Hal ini dilihat dari ditemukannya kitab yang berasal dari Jawa, Arab dan Melayu. Salah satu kitab yang ditemukan oleh Martin Van Bruinessen adalah kitab al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Kitab kuning sendiri mulai eksis di kalangan pesantren pada abad ke-19 yaitu pada masa penjajahan belanda. Dimana pada masa itu kitab kuning berperan besar dalam pengembangan pendidikan tidak hanya di pesantren, tetapi juga pendidikan tradisional masyarakat desa, dengan menutup diri dari dunia luar. Eksistensi kitab kuning pun semakin kuat ketika pondok-pondok pesantren mulai muncul satu persatu.

Kitab kuning sendiri biasanya mengulas tentang fikih, akidah akhlak, tasawuf, hadits, hukum Islam dan tafsir. Bahkan banyak pula kitab kuning yang mempelajari ilmu kalam (teologi) hingga filsafat hal inilah yang menyebabkan kitab kuning tetap relevan dengan perkembangan zaman saat ini bahkan permasalahan-permasalahan yang muncul pada zaman sekarang tak jarang mengambil jawabannya dari kitab kuning. Kitab kuning juga menjadi salah satu ciri khas yang melekat pada sebuah pesantren yang tidak bisa dihilangkan, mengapa demikian? Karena kitab kuning sendiri rata-rata ditulis oleh ulama-ulama masa lampau yang bersumbangsih besar pada ilmu keagamaan seperti halnya imam madzhab 4, Imam al-Ghazali dan lainnya. 

Bahkan ada kalam salah satu ulama’ yang berbunyi “belajarlah kitab hingga khatam (selesai) maka kitab akan mencucurkan keberkahannya bagi yang mau belajar” ini menunjukkan bahwa para kyai pondok pesantren yakin betul bahwa salah satu datangnya keberkahan itu dari mengkaji kitab hingga khatam. Hal ini juga selaras dengan salah satu dawuh Romo KH. Moh. Yahya Husnan “Barokah kuwi ora ketok nanging iso dirasakno” (barokah itu tidak terlihat tapi bisa dirasakan). Juga selaras dengan dawuh dari almarhum Romo KH. Djamaluddin Ahmad “petenge kitabmu iku padange atimu” maksudnya, kelengkapan makna dari kitabmu itu menandakan bersihnya hatimu, dan hal itu pun diyakini sangat kuat oleh para santri.

Meskipun begitu masih sangat banyak para santri yang setelah pulang ke rumah tidak mengajarkan apa yang telah ia dapat dari belajar kitab kuning, padahal kitab kuning sendiri adalah penyebab utama ilmu agama dapat terus berkembang. Masa depan ada sebab adanya masa lalu, pohon besar ada sebab adanya tunas di masa lalunya. 

Maka dari itu mengkaji kitab kuning dalam pondok pesantren ialah hal yang lumrah bahkan tak jarang sekarang banyak ditemukan metode-metode cara membaca kitab kuning dengan cepat, hal ini dilakukan tidak lain agar kitab kuning bisa terus dibaca dan dikembangkan tidak hanya dari kalangan pesantren tetapi juga dari non-pesantren (masyarakat luas), juga agar kitab kuning tidak hilang begitu saja seiring berkembangnya zaman.

Ini menurut pandangan tradisionalis yang terkesan lebih beradab dengan menghormati karangan-karangan ulama’ masa lampau, tetapi tidak menafikan adanya pembaharuan atau pengembangan ilmu yang dasarnya telah ada, agar tetap eksis. Tentu saja tidak melenceng dari ajaran yang telah dibuat oleh para pendahulu.

Penulis: Akliil Khairil Aufaa

Leave a Reply