Oleh: Naflah
Berbicara tentang cinta tidak akan pernah ada habisnya. Tidak ada kata sepakat dalam penjelasan konkret tentang cinta. Cinta merupakan suatu konsepsi irasional yang tidak mampu dijelaskan secara rasional. Akan tetapi bisa dirasakan wujud keberadaannya. Layaknya oksigen, kasat mata namun bisa dirasa manfaatnya.
Melihat gejala-gejala cinta, Ibnu Sina menilai cinta adalah suatu penyakit. Sebab seorang pecinta akan merasakan gejolak hati, perasaan tidak stabil, bisa senang sekaligus susah, bisa tertawa sekaligus sedih. Begitu yang termaktub dalam kitabnya “Qanun al-Thib”. Sehingga yang timbul dalam hati seorang pecinta adalah rasa gelisah dan takut kehilangan orang yang dicintainya. Bukankah rasa cinta yang kuat diiringi dengan rasa takut kehilangan yang sangat?
Berbeda dengan Ibnu Sina, seorang pakar tafsir Imam al-Qurthubi memberikan komentar tentang cinta sebagai “kecenderungan manusia untuk menyempurnakan apa yang dirasa kurang sehingga keberhasilan dalam proses penyempurnaan tersebut akan menuai kebahagiaan”
Sementara itu dalam kitab “Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyah” mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati terhadap seseorang atau sesuatu yang menarik. sedikit penjelasan tentang cinta tersebut di atas tidak cukup menemukan titik temu pada pendefinisian konkret tentang cinta. Karena kerja cinta adalah kerja jiwa. Sehingga keragaman penjelasan tentang cinta juga diakibatkan dari keragaman dari obyek cinta itu sendiri. Substansi dan indikator cinta juga bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut juga ditengarai oleh ketidaksamaan terhadap objek cinta.
Berbicara tentang objek cinta, ingin hati penulis mengurai sedikit tentang cinta kepada manusia paripurna -Rasulullah Muhammad saw- Sudah banyak termuat tentang sosok yang membawa visi ajaran “Rahmatan lil Alamin” terkait kebaikan budi pekertinya.
Sudah menjadi suatu keumuman bila seorang pecinta akan patuh dan tulus kepadanya dan lisannya selalu basah dengan menyebut-nyebut tentang kebaikannya. Maka ketika cinta membutuhkan bukti atas kecintaannya, apa bukti cinta kepada baginda?
Ada beberapa hal yang cukup sebagai bukti akan adanya cinta pada baginda Rasulullah SAW. Seorang pakar tafsir terkemuka -M. Qurais Shihab- setidaknya terdapat 3 bukti wujud adanya cinta pada Rasulullah Muhammad saw. Pertama, selalu bersholawat kepadanya.
Anjuran bersholawat kepadanya termaktub dalam QS: al-Ahzab 56. Yang berbunyi:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya :Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.
Musthofa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, memberikan penafsiran terkait ayat diatas bahwa wujud dari sholawat Allah adalah berbentuk Rahmat dan dari malaikat berupa permohonan ampunan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa Allah memberikan Rahmat kepada Nabi dan malaikat mendoakan dan memohonkan ampunan kepada-Nya. Pada ayat tersebut pula secara tegas terdapat perintah untuk senantiasa bersholawat dan salam kepada Nabi dengan lisan.
Kita bersholawat kepada Nabi Muhammad bukan berarti nabi butuh terhadap doa kita. Ibarat sebuah gelas yang sudah terisi penuh dengan air dan masih terus dituangi air maka yang terjadi air tersebut akan meluber keluar dari wadah gelas tersebut. Begitu pula ketika kita bersholawat kepada Nabi yang kita harapkan adalah luberan-luberan kebaikan ataupun doa akan meluber kepada orang yang bersholawat.
Kedua, meneladani uswahnya.
Sudah seyogyanya kita meneladani akan figur Nabi. Sebab figur nabi adalah uswah hasanah. Al-Quran menyebutnya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.
Sebagian dari meneladani Rasulullah adalah meniru apa yang ada pada diri beliau. Meski tidak bisa meniru secara keseluruhan setidaknya terdapat beberapa teladan yang patut diteladani. Seperti selalu berkata jujur, berbicara lemah lembut, santun, membalas keburukan dengan kebaikan, pemaaf, sabar, bijaksana dalam mengambil keputusan dan masih banyak hal baik yang patut diteladani. Sebab ketika berbicara tentang budi pekerti dan perangai Rasulullah merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur yang ada dalam al-Quran. –Kaana Khuluquhu al-Qur’an-.
Ketiga, menonjolkan keindahan dan kebaikan.
Kini di era transformasi digital kian mudah dalam mengakses berbagai informasi. Berbagai media dapat digunakan untuk mempresentasikan akan keindahan laku dan kebaikan pekertinya. Sangat gampang bila media tersebut ditunggangi sebagai media syiar akan keindahan Islam. Hal tersebut sangat akan menangkal akan tindakan islamophobia dan ujaran kebencian atas suatu pihak.
Semoga di momentum Maulid Nabi Muhammad saw rasa cinta kita terhadap sang manusia paripurna kian bertambah serta bisa menjadi wasilah bagi kita untuk mendapat syafaat agung kelak di hari kebangkitan. Memetik dawuh Hubabah Halimah Alaydrus “Cintailah Nabi Muhammad, karena mencintai Nabi Muhammad tak mungkin tak terbalas”.
اَللّهُمَّ صَلِّى وَ سَلِّمْ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَاحِبِ اْلبُشْرَى صَلاَةً تُبَشِّرُنَابِهَا وَأَهْلَنَا وَأَوْلَادَنَا وَجَمِيْعِ مَشَايِخِنَا وَمُعَلِّمِيْنَا وَطَلَبَتَنَا وَطَالِبَاتِنَا مِنْ يَوْمِ هَذَا اِلى يَوْمِ اْلآخِرَةِ
Wallahu a’lam…